Thursday, September 21, 2006

MRSA - superbugs nosocomial infection in Indonesian Hospital "undercover cases"



MRSA-supebugs in Indonesian Hospital – "Undercover cases" Nosocomial Infection ; (Learning experience from western and middle east hospital) MRSA (Metycillin Resistent Stapylococcus Aureus) Infeksi nosokomial - superbakteri rumah sakit di Indonesia "Undercover case"; (Belajar dari pengalaman rumah sakit di negara-negara barat dan timur tengah)

Oleh : Nur Martono, SKp
Staf Keperawatan RS Amiri - Kuwait

Saat ini hampir semua pelayanan kesehatan di Indonesia dan Departemen Kesehatan sedang hangat mengkampanyekan penanggulangan dan pengobatan virus flu burung avian H5N1. Dilain pihak, berbagai penyakit infeksi di Indonesia seolah silih berganti menyerang ; mulai dari TBC, HIV-AIDS, belum lagi wabah diare, salmonella thyposa dan DHF. Merupakan hal yang sudah dianggap lazim oleh masyarakat awam dan pelayanan kesehatan di Indonesia.

Dalam pada itu, ada hal yang sedikit terlupakan tentang bahaya infeksi nosokomial yang merupakan infeksi yang terjadi di Rumah Sakit di Indonesia. Resiko infeksi nosokomial selain terjadi pada pasien yang dirawat di Rumah Sakit, dapat juga terjadi pada para petugas Rumah Sakit tersebut. Berbagai prosedur penanganan pasien memungkinkan petugas terpajan/exposure dengan kuman yang berasal dari pasien. Infeksi petugas juga berpengaruh pada mutu pelayanan karena petugas menjadi sakit sehingga tidak dapat melayani pasien.

Pengetahuan tentang pencegahan infeksi sangat penting untuk petugas Rumah Sakit dan sarana kesehatan lainnya merupakan sarana umum yang sangat berbahaya, dalam artian rawan, untuk terjadi infeksi. Kemampuan untuk mencegah transmisi infeksi di Rumah Sakit, dan upaya pencegahan infeksi adalah tingkatan pertama dalam pemberian pelayanan yang bermutu. Untuk seorang petugas kesehatan hal ini adalah langkah pertama dalam pemberian pelayanan yang bermutu. Untuk seorang petugas kesehatan, kemampuan mencegah infeksi memiliki keterkaitan yang tinggi dengan pekerjaan, karena mencakup setiap aspek penanganan pasien.
1. http://www.infeksi.com/hiv/articles.php?lng=in&pg=16

Salah satu jenis infeksi nosokomial yang saat ini berbahaya dan banyak menyerang berbagai RS di negara-negara barat dan timur tengah saat ini adalah MRSA (meticillin-resistant Staphylococcus aureus)/superbugs/super bakteri. Dan yang menarik adalah masih banyak tenaga kesehatan di Indonesia yang belum memahaminya. Tanpa sengaja, hal ini sempat penulis tanyakan lewat online lewat salah seorang staf keperawatan dan mahasiswa keperawatan di salah satu RS terkemuka nasional di Jakarta, jawabnya : "Apa sih yah MRSA itu, tidak ada kok kasusnya !!!" (hal yang sangat wajar karena belum banyak kasus di Indonesia yang terungkap).

1. Trend WNI berobat ke-RS di luar negeri dan dampak terhadap infeksi nosokomial antar negara, termasuk MRSA

Dengan kecenderungan banyaknya pasien WNI yang berobat di luar negeri maka ada hal yang sudah seharusnya diantisipasi yaitu adanya transfer bakteri, penyakit dan infeksi (termasuk infeksi nosokomial) dari luar negeri ke Indonesia, ataupun sebaliknya. Meskipun hal tersebut dibantah oleh depkes RI. "Depkes bantah banyak pasien berobat ke LN". Banyaknya pasien berobat ke luar negeri antara lain disebabkan merosotnya mutu pelayanan di rumah sakit dalam negeri seperti kasus RSPI Saroso dan kasus pengaduan lainnya ke polisi. Juga ditandai dengan adanya kasus kurang akuratnya diagnosa penyakit pasien, belum adanya perlindungan hukum pasien dan berkurangnya mutu lulusan sejumlah dokter. Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik Depkes Dr. Farid Wadji Husain membantah pendapat tersebut. Menurutnya tidak benar banyak pasien berobat ke RS luar negeri akibat mutu pelayanan RS dalam negeri rendah dan kurang dipercaya. Indonesia sudah banyak memiliki RS modern. Mengenai mutu pelayanan sudah makin meningkat karena ada persaingan antara RS swasta dan RS milik pemerintah. Sementara lulusan FK di Indonesia cukup baik. (Sentana 9/5/06)

"Meningkatkan mutu RS dengan TI". Rumah sakit menjadi ujung tombak pembangunan dan pelayanan kesehatan masyarakat. Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas layanan RS adalah dengan penerapan Teknologi informasi. Di Indonesia menurut sejumlah sumber dari sekitar 1200 RS, sekitar 92 persen masih menggunakan cara manual dalam melayani pasien. Ketua Umum PERSI dr. Adib Abdullah Yahya MARS mengatakan sudah saatnya Indonesia mengaplikasikan TI. Dengan penerapan TI di RS, pelayanan kesehatan akan menjadi lebih baik. Beberapa peran yang bisa dimainkan TI di RS yaitu harus bisa digunakan chief executive officer untuk membuat perencanaan dan kontroling, bisa membuat operasional RS jadi efisien dan efektif, serta harus meningkatkan keselamatan pasien. Ia mencontohkan di RS Taiwan, bila dokter menuliskan resep obat yang tidak benar, akan ada peringatan dari sistem. (Hr. Republika 9/5/06)
2.http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=1955&Itemid=2

Sementara di artikel lain di majalah tempo interaktif menjelaskan, trend berobat masyarakat Riau ke luar negeri, khususnya Malaka Malaysia meningkat. Disamping karena promosi yang gencar, dan gengsi, kualitas penanganan pasien dan harga yang lebih murah dibanding bila berobat ke Jakarta dan kota besar lainnya di Indonesia.

Karenanya, menurut Kepala Dinas Kesehatan Riau DR Ekmal Rusdy, sudah saatnya Rumah Sakit di Riau meningkatkan kualitas penanganan pasien dan meniru pola pola promosi dan membangun jaringan yang dilakukan Rumah Sakit Luar Negeri. "Sedikitnya 7.500 pasien asal Riau berobat ke luar negeri, dan 6.000 diantaranya berobat ke Malaka, Malaysia. Ini hendaknya menjadi acuan berbenah diri bagi Rumah Sakit di Riau, Khususnya di Ibukota Provinsi, Pekanbaru,"ujar DR Ekmal.
3.http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/sumatera/2005/05/06/brk,20050506-02,id.html

Adalah hak setiap individu untuk berobat kemanapun dan dimanapun, termasuk di luar negeri. Namun dampak terhadap image RS di Indonesia, pengurangan devisa negara, dan dampak negatif seperti kemungkinan transfer infeksi nosokomial antar negara sudah semestinya diantispasi (termasuk kasus MRSA). “Penderita yang sering berobat di Indonesia bila berobat di luar negeri (terutama di negara maju) sering khawatir, karena bila sakit jarang diberi antibiotika. Sebaliknya pasien yang sering berobat di luar negeri juga sering khawatir bila berobat di Indonesia, setiap sakit selalu mendapatkan antibiotika”. Hal ini bukan sekedar pameo belaka. Tampaknya banyak fakta yang mengatakan bahwa memang di Indonesia, dokter lebih gampang memberikan antibiotika.
4. http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=3935&tbl=cakrawala

Bukan tidak mungkin seperti merebaknya kasus polio liar di Indonesia tahun 2005, karena diduga masuk melalui "carrier case" yang kemungkinan dibawa TKI, dapat pula terjadi oleh penyakit yang dibawa oleh pasien WNI yang berobat di luar negeri, tentu tanpa kesengajaan. Termasuk kasus-kasus seperti MRSA, terutama oleh pasien-pasien yang beresiko seperti "pasien bedridden" (tirah baring) yang lama seperti CVA, atau post intubasi ventilator, pasien uremia, diabetes, post kemoterapi, HIV-AIDS, post-op/pasca bedah, dan pasien luka bakar. Dan tentu saja hal ini sudah semestinya juga menjadi hal yang perlu diantispasi oleh pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan di Indonesia, sebelum menjadi "outbreak" atau masalah baru untuk bidang kesehatan di Indonesia yang sudah memiliki begitu banyak masalah.

Atau bahkan mungkin saja MRSA menjadi sebuah "undercover case" (kasus yang tidak pernah terungkap) di RS di Indonesia. Meskipun saat ini banyak bidang pengawasan infeksi di setiap RS, namun karena tingkat kewaspadaan yang rendah atau sudah sedemikian banyaknya permasalahan maka kasus MRSA menjadi terabaikan

2. Berbagi pengalaman tentang kasus MRSA dari negara barat dan timur tengah

Infeksi nosokomial sebenarnya bukan barang baru. Menjelang paruh kedua abad XIX Ignaz Phillip Semmelweis, seorang dokter ahli kebidanan di Wina, Austria, telah mengamati 30% dari para ibu yang melahirkan di rumah sakit menderita demam setelah melahirkan dengan angka kematian sebesar 12,24%. Sedangkan mereka yang melahirkan di rumah sendiri umumnya tidak terserang demam demikian.

Selain itu, infeksi nosokomial menjadi ancaman besar terhadap kesehatan karena sekarang banyak ditemukan bakteri yang resisten (kebal) terhadap pelbagai jenis antibiotik. Kini sekitar 40% dari bakteri Staphylococcus aureus yang dapat diisolasi di rumah sakit, diketahui kebal terhadap semua antibiotik, kecuali terhadap vankomisin. Tapi suatu saat bakteri ini akan membentuk mutan (bakteri yang bermutasi dan mempunyai sifat-sifat baru) yang juga kebal terhadap gempuran vankomisin seperti vancomycin-resistant Staphylococcus aureus (VRSA) and vancomycin-resistant enterococcus (VRE).

Kalau itu terjadi, penderita pneumonia (radang paru-paru) ataupun infeksi pascabedah akibat infeksi bakteri Staphylococcus aureus tidak dapat lagi diobati dengan antibiotik mana pun. Seperti dalam tahun 1992 di Amerika Serikat ada 13.300 kasus penderita infeksi nosokomial karena dirawat di rumah sakit, tidak dapat disembuhkan dengan antibiotik yang tersedia dan akhirnya meninggal.
5.http://www.indomedia.com/intisari/1997/maret/infeksi.htm

Bakteri penyebab infeksi mematikan yang ditemukan di rumah sakit (RS) dapat bertahan berminggu-minggu di tempat tidur, kertas, atau keyboard komputer, demikian hasil sebuah penelitian. Infeksi tersebut banyak ditemukan pada pasien-pasien berbagai RS di AS. Pengaruhnya terhadap tubuh bisa berupa serangan ringan hingga kematian. Penyebabnya adalah bakteri meticillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA)/superbugs/super bakteri, yang menimbulkan infeksi ringan hingga infeksi luka yang serius, pneumonia, atau infeksi pada darah penderita/sepsis.

Bakteri ini adalah satu dari beberapa jenis penyebab penyakit yang semakin sulit diatasi dengan obat-obatan konvensional. Pengaruh antibiotik dan penggunaannya yang tidak tepat dapat mengubah bakteri menjadi lebih resistan. Penelitian terakhir memperlihatkan bahwa MRSA muncul dalam jumlah yang besar di berbagai rumah sakit.

Hati-hati dalam menangani ponsel. Bukan karena ponsel mudah rusak, akan tetapi seorang pasien di San Fernando General Hospital terkena bakteri mematikan MRSA yang bersarang di ponselnya. Dr. Hari Maharajh, dari University of The West Indies, mengemukakan “Ponsel sudah seharusnya diperlakukan dan dipergunakan sebagai sebuah alat yang mirip dengan sikat gigi dan lipstik. Tidak seharusnya dipakai bergantian. Sangatlah sulit untuk membersihkan ponsel sebab alat ini cukup rumit.”

Peringatan darinya mendukung sebuah penelitian baru-baru ini di Arizona, Amerika Serikat. Penelitian ini berhasil menemukan hampir seperempat ponsel yang mereka uji dinyatakan positif dijadikan sarang berkumpulnya MRSA (Methicillin-resistant Staphylococcus aureus). 6.http://www.g2glive.com/?m=news.detail&id=1140

"Kemungkinan MRSA berpindah dari satu orang ke yang lainnya, dalam jumlah besar, tergantung kemampuannya untuk hidup di permukaan benda-benda yang ada," kata Kris Owens dari Ecolab Inc. di Mendota Heights, Minnesota. Dalam penelitian tersebut, terdapat dua kecenderungan tempat hidup MRSA tergantung berbagai tipe permukaan. Para peneliti menemukannya di cat kuku setelah beberapa minggu, permukaan keyboard komputer setelah enam minggu, dan di permukaan kasur setelah berhari-hari.
7. http://www.jaga-jaga.com/anIjakTerkini.php?ida=71599

Sekedar berbagi pengalaman di Kuwait tanyakan kepada perawat Indonesia tentang MRSA, mereka akan tahu betul tentang penyakit ini, pencegahan dan pengobatannya. Hal ini lebih dikarenakan banyak kasus ini ditemukan terutama di ruang-ruang medikal, ICU, dan surgical. Kasus pertama di Kuwait sendiri ditemukan tahun 1979, dan menjadi "outbreak" di tahun 1992. Dengan katagori outbreak (1 kasus perbulan di ruang/unit yang high risk/tanpa ada kasus; 3 atau lebih kasus perbulan di setiap unit, atau angka kematian akibat MRSA meningkat 25% diatas baseline-yang diambil datanya setiap tahun). Rata-rata saat ini setiap ruang rawat di RS di Kuwait pernah dan sedang merawat 1 atau lebih, pasien dengan MRSA, bahkan pasien-pasien yang pernah dirawat di luar Kuwait (Inggris khususnya).

Bahkan setiap pasien bedridden/tirah baring yang pertama kali masuk/"admitted" maka protokolnya harus diambil screning MRSA/swap nasal, kulit, luka, urine dan sputum. Demikian pula pasien dengan post intubasi/"weaning" ventilator di ruang-ruang ICU atau CCU maka harus dikirimkan screening terhadap MRSA tersebut, bahkan diiringi blood c/s (c/s-culture/sensitivity darah) atau swap c/s di area post CVP line. Dan apabila hasilnya positif maka isolasi ketat diterapkan (hampir mirip dengan isolasi pasien dengan flu burung di Indonesia). Pengalaman yang sama mungkin saja akan dialami oleh perawat Indonesia lainnya yang bekerja di luar negeri terutama di negara-negara Eropa, Amerika dan Timur Tengah.

Di Inggris kasus MRSA pertama kali ditemukan di tahun 1961 dan menjadi wabah semenjak itu dan dikenal sebagai "superbug"/super bakteri. Bahkan dalam artikel di www.medindia.net menjelaskan bahwa MRSA lebih membahayakan daripada SARS atau virus flu burung (memerlukan penelitian lebih lanjut). Sementara di Amerika Serikat sendiri hampir 2,3 juta orang di AS kemungkinan besar menjadi carrier MRSA tanpa menimbulkan gejala dan tanda-tanda sakit. US Control for Infection and Diseases, sendiri memperkirakan hampir 90.000 kasus MRSA menyebabkan infeksi serius dan 17.000 menyebabkan kematian setiap tahunnya di Amerika Serikat.
8.http://www.medindia.net

Sedangkan sebuah survey terbaru yang dilakukan di 20 RS di Canada September 2006, yang dilakukan oleh Canadian National Intensive Care Unit memperlihatkan 20 % kuman Stapylococcus Aureus menjadi MRSA dan angka terbesar mencapai 50% di salah satu RS di Kanada. Sementara angka kematian setiap tahunnya di Kanada akibat MRSA mencapai 8.500 orang/tahun , demikian menurut The Community and Hospital Infection Control Association. Bagi RS di Kanada sendiri, MRSA menjadi ancaman serius terutama di ruangan ICU, menurut Dr. George Zhanel seorang Prof.microbiology dari Universitas Manitoba – Kanada. Penderita MRSA-superbugs membutuhkan waktu rawat yang lebih lama dan kombinasi obat yang kompleks, namun tetap dengan harapan sembuh yang tipis.

Bahkan peneliti disana mengkhawatirkan sejumlah kasus MRSA di masyarakat/komuniti, seperti telah ditemukannya kasus infeksi kulit dan pneumonia yang resisten yang di kalangan atlit, tentara, pengguna narkoba injeksi, dan pasien yang pernah dirawat di ICU.
9.http://www.cbc.ca/story/health/national/2006/09/13/antibiotic-resistance.html

Australia sendiri melaporkan kasus pertama virulent Community-acquired methicillin-resistant Staphylococcus aureus (CA-MRSA) strain di tahun 1993, dan semenjak itu kasus CA-MRSA dilaporkan muncul di berbagai negara. CA-MRSA strain ini berbeda sekali dengan MRSA yang terjadi pada infeksi nosokomial di RS, lebih berbahaya, fatal dan menyebar cepat di anak-anak sehat. 10. http://www.cdc.gov/ncidod/EiD/vol11no06/04-1146.htm

Sejenis bakteri didapatkan menjadi penyebab kematian 123 pasien di beberapa RS di Victoria, Australia dan kini telah menjangkiti lebih 1,600 orang di tahun 2005. Bakteri methicillin resistant staphylococcus (MRSA) sejenis golden staphylococcus biasanya ditemui di RS dan kini ia mampu melawan antibiotik yang ada. Bakteri itu tersebar melalui sentuhan antara pasien dengan petugas RS yang tidak mencuci tangan mereka dengan steril. MRSA akan melemahkan sistem pertahanan tubuh pasien yang mengidap kanker, CVA atau penyakit lain secara mendadak.
11.http://www.prn2.usm.my/mainsite/berita/2005/ogos05.html

Yang lebih mengkhawatirkan di Inggris sendiri telah dilaporkan hampir 150 bayi dan anak di tahun 2006 telah mengalami infeksi dalam darah yang fatal akibat MRSA –superbug di RS NHS Inggris. Angka ini double dari perkiraan awal, dikarenakan buruknya kesehatan lingkungan RS di Inggris. Bayi dan anak ini menderita shock sepsis/toksik, yang dapat membawa ancaman kegagalan fungsi organ dan kematian. Bayi-bayi ini diduga mendapatkan MRSA melalui iv line terapi.


Pre eliminary studi yang dilakukan Dr Alan Johnson seorang peneliti mendapatkan 147 bayi yang terkena MRSA, dan 1/3 berusia kurang dari satu tahun. Angka ini hanya diperleh dari dokter spesialis anak di Inggris di tahun 2006, namun masih banyak yang belum dilaporkan. Seorang ahli mikrobilogi lain dari Imperial College London dr Mark Enright menjelasakan jika terdapat hampir 150 anak terkena MRSA dalam darah maka hal tersebut signifikan dan menandakan tidak adanya kontrol terhadap infeksi ini. Dia menambahkan infeksi MRSA dalam darah biasanya mengenai 20%, maka dapat diperkirakan terdapat 750 kasus MRSA superbugs/superbakteri pada anak setiap tahunnya.
12.http://www.telegraph.co.uk/health/main.jhtml?view=DETAILS&grid=&xml=/health/2006/09/11/nhs10.xml

Di Indonesia sendiri belum ada data yang pasti tentang kasus MRSA di RS di Indonesia. Namun dari beberapa artikel dan jurnal di internet, misalnya Ahli Mikrobiologi Klinik pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Prof. Dr. Amin Soebandrio, Sp.M.K. menuturkan tentang diagnosa banding Flu burung dengan MRSA. apabila hasil pemeriksaan kasus flu burung yang terjadi di Indonesia yang diperiksa samplenya di Hong Kong negatif, maka kecurigaan kedua adalah bakteri staphylococcus aureus. Misalnya, methichillin-resistant staphylococcus aureus (MRSA). "Bakteri ini dapat menyebabkan pneumonia berat, sasarannya paru-paru," katanya.
13. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0705/18/0101.htm

Memang pernah ada penelitian yang dilakukan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bali di tahun 2005 tentang Distribusi dan Pola Kepekaan Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA) di Ruang Intensif Rumah Sakit Sanglah Denpasar yang dilakukan oleh Ida Sri Swari, sayang data ini tidak dapat diakses. 14. http://www.lemlit.unud.ac.id/search.html
Sementara di litelatur lain menjelaskan, kuman yang resisten terhadap antibiotika semakin lama semakin banyak. Diantara isolat yang diteliti lab.Mikrobiologi Klinik FKUI ditemukan bahwa MRSA (Mythycillin Resistant Staphylococcus Aureus) dari tahun ke tahun selalu meningkat (WARSA, 2004). Keadaan ini perlu diwaspadai karena pola penggunaan antibiotika di Indonesia selama ini jauh dari kontrol yang baik. Topik ini akan dibahas oleh seorang ahli mikrobilogi klinik yang berpengalaman dari rumah sakit terkemuka di Jakarta, tentu dengan disertai peragaan bagaimana melakukan test resistensi terhadap antibiotika dan bagaimana melakukan interpretasi hasilnya . Dalam seminar bertajuk Aspek Mikrobilogi Klinik Dalam Pengendalian Infeksi dan Resistensi Kuman terhadap antibiotika di RS
(Prof. DR. Dr. Amin Subandrio, SpMK/RS Pondok Indah, Jakarta)

15. http://www.okta.co.id/workshop/index.php3

Bahkan Menurut dr Latre Buntaran, SpMK dari Bagian Mikrobiologi RSAB Harapan Kita, saat ini jenis resistensi terhadap bakteri telah semakin beragam dari sekedar penicillinase-resistant staphylococci dan methicillin - resistant S aureus (MRSA) yang marak sekitar tahun 1950-an dan 1960-an. "Saat ini terdapat glycopeptide intermediate S aureus (GISA), vancomycin-resistant enterococci (VRE) dan penicillinase - resistant S pneumoniae(PRSP). Di masa datang mungkin pula akan muncul strain yang resisten terhadap glikopeptida (GRSA)," ujar Latre Buntaran.

Latre menuturkan, Infeksi nasokomial berperan penting dalam penularan bakteri Gram positif di RS. Infeksi bakteri nosokomial ternyata terbanyak disebabkan oleh Gram positif (64,4%) sedangkan Gram negatif hanya 27,4% dan fungi 8,4%.
"Di RSAB Harapan Kita, infeksi nasokomial terbanyak masih disebabkan oleh Gram negatif. Namun ada peningkatan infeksi MRSA dari 20% di tahun 1998 menjadi 34% di tahun 2000, sedangkan antara Januari-Juni 2001 sudah terdapat 15% kasus MRSA," kata dia.
16.http://cybermed.cbn.net.id/detil.asp?kategori=Health&newsno=1126

Sementara itu di RS Jantung Harapan Kita diinformasikan bahwa di Indonesia tak ada obat Vancomycin yang sangat diperlukan untuk pasien dengan infeksi MRSA (Methycilin Resistant Staphylococus Aereus). Saat bencana Aceh terjadi dan disampaikan kepada dokter-dokter Jepang, dan maksudnya, kalau bisa minta kiriman untuk persediaan pengobatan 10 pasien. Dan sungguh diluar dugaan. Dalam tempo 24 jam, kepala rombongan tim dokter jepang dengan membawa Vancomycin untuk 100 pasien. Dan keesokan harinya, tiga orang dokter Ahli Infeksi datang bersama tiga orang perawat. Nilai sumbangan obat ini mencapai Rp. 500 juta.-
17.http://www.pjnhk.go.id/berita30.htm

3. Definisi MRSA

a. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah strain spesifik dari bakteri Staphylococcus aureus yang membentuk resistensi terhadap antibiotika semua turunan penicillin dan methicillin, dan juga spectrum luas β-lactamase-resistant penicillin antibiotics. MRSA pertama kali ditemukan di Inggris tahun 1961 dan sekarang menyebar luas di semua RS di dunia dikenal sebagai superbug/superbakteri. MRSA juga dikenal sebagai oxacillin-resistant Staphylococcus aureus (ORSA) dan multiple-resistant Staphylococcus aureus, dan Staphylococcus Aureus yang non-resistent methicyllin dikenal sebagai methicillin-susceptible Staphylococcus aureus (MSSA).
18.http://en.wikipedia.org/wiki/Methicillin-resistant_Staphylococcus_aureus
b. MRSA dikenal sebagai methicillin-resistant Staphylococcus aureus. Adalah sejenis bakteri yang umum ditemukan di kulit dan nasal orang sehat/pasien, walaupun tidak berbahaya namun jika terdapat luka, abrasi, radang, insisi luka operasi, atau folley catheter dapat menyebabkan infeksi. Infeksi ini dapat bersifat ringan (nanah atau radang) atau berat (infeksi di darah/sepsis, tulang atau sendi)19. http://www.netdoctor.co.uk/diseases/facts/mrsa.htm
c. MRSA stands for methicillin-resistant Staphylococcus aureus, a common type of bacteria that has become resistant to certain types of antibiotics. This type of bacteria is commonly found on the skin and in the noses of healthy people. In these places, the bacterium is usually harmless, but it can cause infection if it gets into the body through a cut or during surgery.
20.http://www.cbc.ca/news/background/health/mrsa-vre-esbl.html

4. Epidemiologi MRSA

Hampir 53 juta orang diperkirakan membawa kuman MRSA, dan para pakar memperkirakan 2 milliar orang, atau sama dengan 25 – 30% total penduduk dunia membawa bakteri Staphylococcus aureus. Pneuomonia MRSA grup, dan pasien yang mendapatkan flurokuinolone adalah salah satu populasi yang beresiko terkena MRSA.

MRSA disebabkan oleh obat-obatan iv (intra vena) sebanyak 20% dari total populasi. Diawal tahun 2005 di Inggris 3000 angka kematian akibat MRSA, dan menyerang separuh RS di Inggris dan menjadi perdebatan dan issue hebat di kebijakan kesehatan di Negara tersebut. Di Belanda sendiri, ada 3 keluarga peternak babi yang terkena MRSA dan ditemukan di hewan peliharaannya juga. (lihat point 2 : berbagi pengalaman MRSA di Negara barat/timur tengah)

5. Pencegahan dan Pengobatan MRSA

Alkohol (70%) dapat efektif sebagai sanitasi pencegahan MRSA. Quaternary ammonium yang dikombinasi dengan Alkohol juga efektif. Dan perlu dicegah dengan pembersihan rutin ruang-ruang rawat dengan menggunakan Nonflammable Alcohol Vapor in CO2 (NAV-CO2) system atau or sodium hypochlorite adalah zat yang sering digunakan untuk sanitasi ruangan pasien dengan MRSA

Diakhir tahun 2004 Inggris mengkampanyekan "Clean Your Hands campaign" (Kampanye mencuci tangan) dengan alkohol, hibiscrub atau hibisol. Sementara banyak pekerja kesehatan di AS masih melalaikan hal itu sesuai laporan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) yang melaporkan bahwa bahwa dengan mencuci tangan, maka dapat menyelamatkan 30.000 pasien pertahun dari infeksi nosokomial termasuk MRSA http://en.wikipedia.org/wiki/Methicillin-resistant_Staphylococcus_aureus

Model matematis yang diterapkan di Inggris dengan menscrening pasien MRSA dan staf RS, dan menerapkan strategi "search and destroy" dimana pasien yang MRSA segera diisolasi dan staf yang positif MRSA dicutikan sampai sembuh dengan Eradication theory.

Staf RS harus menggunakan sarung tangan (gloves), dispossible gaun, masker, penutup kepala, saat kontak dengan pasien MRSA dan harus melepaskannya sebelum keluar ruangan isolasi. Dan setiap pengunjung diminimalkan kontak dengan pasien dan harus sama seperti petugas, dan mencuci tangan dengan alkohol sebelum dan sesudah masuk ruangan pasien dengan MRSA

MRSA dapat bertahan di benda seperti linen, lantai, tempat tidur, dan alat-alat mandi, sehingga runagan mesti dibersihkan dengan desinfektan dan yang tersulit tentu saja ruangan yang ber AC, udara, botol suction, O2 sentral dan bahkan hp atau komputer pun dapat menjadi media penyebaran MRSA yang tentu saja sulit dihilangkan.
http://www.netdoctor.co.uk/diseases/facts/mrsa.htm

6. Gejala Klinis dan target organ

S. aureus umumnya terdapat kolonisasi di anterior nasal, saluran napas, luka terbuka, iv line, folley catheter, dan kulit . Umumnya infeksi MRSA pada individu sehat adalah tanpa gejala, dan dapat terjadi dalam hitungan minggu hingga tahun. Pasien dengan penurunan kekebalan tubuh, dapat menjadi rentan terhadap infeksi sekunder ini. MRSA dapat menyerang paru/pneumonia MRSA yang serangannya mirip flu burung, mengenai darah penderita/sepsis dan menyebabkan kematian. http://www.medindia.net/news/view_news_main.asp?x=13504

7. Pengobatan

a. Vancomycin (dari bakteri di tanah yang ditemukan di India dan Indonesia)
b. Teicoplanin /antibitika glycopeptide (targocid)
c. Mei 2006 peneliti Merck Pharmaceuticals mempublikasikan natural antibiotik yaitu Platensimycin, yang dinyatakan berhasil melawan MRSA.
d. Linezolid (Zyvox) yang diproduksi di Inggris secara iv dan tablet juga terbaru
e. Mupirocin antiotika yang dipergunakan untuk kulit dan nasal (Bactroban)
Namun saat ini pun telah dilaporkan beberapa kuman MRSA telah resisten terhadap vancomycin dan teicoplanin sehingga menjadi sebuah perhatian.
http://www.cbc.ca/news/background/health/mrsa-vre-esbl.html

8. Peran Perawat

Peran perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial tentu saja paling penting, dimana rata-rata setiap harinya 7 – 8 jam perawat melakukan kontak pershift perhari dengan pasien. Katakanlah 1/2 jam kerja tersebut (4jam) adalah waktu efektif kontak dengan pasien, maka akan menjadi sumber utama terpapar/exposure infeksi nosokomial termasuk MRSA.
Satu penelitian di RSUD Kepanjen di tahun 2003 dengan sample 120 perawat untuk melihat hubungan pengetahuan perawat tentang infeksi nosokomial dan pencegahannya dengan angka prevalensi infeksi nosokomial di RS tersebut memperlihatkan hasil ada hubungan yang kuat dengan indeks korelasi 0,6. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa peran perawat dalam pengontrolan infeksi nosokomial perlu dioptimalisasi
http://digilib.batan.go.id/gdl/go.php?id=jiptumm-gdl-s1-2003-ditatrisna-718&node=314&start=6

Di lain pihak penggunaan antibiotika irasional atau berlebihan juga harus dibatasi. Penggunaan berlebihan atau penggunaan irasional artinya penggunaan tidak benar, tidak tepat dan tidak sesuai dengan indikasi penyakitnya. Sebenarnya permasalahan ini dahulu juga dihadapi oleh negara maju seperti Amerika Serikat.

Pemakaian antibiotika berlebihan atau irasional juga dapat membunuh kuman yang baik dan berguna yang ada didalam tubuh kita. Sehingga tempat yang semula ditempati oleh bakteri baik ini akan diisi oleh bakteri jahat atau oleh jamur atau disebut "superinfection". Pemberian antibiotika yang berlebihan akan menyebabkan bakteri-bakteri yang tidak terbunuh mengalami mutasi dan menjadi kuman yang resisten atau disebut “superbugs”.

Saran :
1. MRSA (Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus) sudah semestinya menjadi perhatian RS/Depkes, sebagai bagian pencegahan Infeksi nosokomial di RS atau komuniti/masyarakat
2. MRSA dapat dijadikan diagnosa banding kasus serangan pneumonia hebat seperti kasus flu burung H5N1 yang menyerang Indonesia
3. Perlunya penyebarluasan informasi di kalangan dokter, perawat dan tenaga kesehatan dan mahasiswa bidang kesehatan tentang MRSA
4. Pembatasan penggunaan antibiotik yang serampangan
5. Screening MRSA di RS dan pasien yang pernah berobat dari LN
6. Penyediaan obat seperti Vancomycin dan Bactroban di RS di Indonesia
7. Pentingnya pengetatan dan screening serta pengawasan infeksi nosokomial dengan pengambangan unit infeksi kontrol disetiap RS di Indonesia

"Prevent is more better than cure and care"

Daftar pustaka
1. http://www.infeksi.com/hiv/articles.php?lng=in&pg=16
2.http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=1955&Itemid=2
3.http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/sumatera/2005/05/06/brk,20050506-02,id.html
4. http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=3935&tbl=cakrawala
5.http://www.indomedia.com/intisari/1997/maret/infeksi.htm
6.http://www.g2glive.com/?m=news.detail&id=1140
7. http://www.jaga-jaga.com/anIjakTerkini.php?ida=71599
8.http://www.medindia.net/news/view_news_main.asp?x=13504
9.http://www.cbc.ca/story/health/national/2006/09/13/antibiotic-resistance.html
10. http://www.cdc.gov/ncidod/EiD/vol11no06/04-1146.htm
11.http://www.prn2.usm.my/mainsite/berita/2005/ogos05.html
12.http://www.telegraph.co.uk/health/main.jhtml?view=DETAILS&grid=&xml=/health/2006/09/11/nhs10.xml
13. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0705/18/0101.htm
14. http://www.lemlit.unud.ac.id/search.html
15. http://www.okta.co.id/workshop/index.php3
16.http://cybermed.cbn.net.id/detil.asp?kategori=Health&newsno=1126
17.http://www.pjnhk.go.id/berita30.htm
18.http://en.wikipedia.org/wiki/Methicillin-resistant_Staphylococcus_aureus
19. http://www.netdoctor.co.uk/diseases/facts/mrsa.htm
20.http://www.cbc.ca/news/background/health/mrsa-vre-esbl.html


1 comment:

Bijuk said...

thanks for the info!so much help as im currently doin research on MRSA